Pesawat berputar di udara, otoritas navigasi jadi kambing hitam

Pesawat berputar di udara, otoritas navigasi jadi kambing hitam 


SeputarAdamss - Malam menanjak tua. Kerlip cahaya yang perlahan membesar di bawah, menunjukkan pada penumpang bahwa bandar udara sudah dekat. Mendadak, pesawat menjauh lagi dari lampu-lampu terang yang menuntun pesawat tersebut untuk mengatar mereka pulang. Demikian terjadi berulang kali, sampai bilangan jam.
Itulah kesan buruk yang diingat Ikhwan Sapta Nugraha (26), pengacara yang sehari-hari mengabdi buat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Dia mengaku jengkel, ketika pesawat yang ditumpangi berputar-putar di atas Bandar Udara Internasional Adi Sutjipto, Yogyakarta.
Selama 90 menit, dia dan penumpang lain tak memperoleh penjelasan memuaskan. Mereka mulai harap-harap cemas menanti kapan roda pesawat menyentuh landasan pacu, setelah beberapa jam sebelumnya terbang dari Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, di Cengkareng, Banten.
"Selama 1,5 jam kami berputar-putar menunggu landing. Alasannya menurut saya tidak bermutu, masak karena cuaca dan latihan militer. Soalnya penerbangan lain mengalami hal sama. Bahkan ada yang lebih lama, sampai dua jam berputar saja di udara," ujarnya kepada merdeka.com, Jumat (7/12).
Kejadian tidak mengenakkan itu dia alami dua pekan lalu, ketika menggunakan jasa maskapai murah Lion Air. Namun, kondisi terbang berputar dengan pelbagai alasan, termasuk antre turun karena bandara padat, juga pernah dia rasakan saat menjadi konsumen maskapai full service Garuda Indonesia.
Setali tiga uang, Vitri Sekar Sari (28), konsultan perlindungan lingkungan berdomisili di Jakarta, mengaku beberapa kali 'diajak' maskapai berputar-putar di udara. Seringkali tanpa penjelasan memadai.
Tak cuma di bandara utama, Sesil - demikian dia kerap disapa - mengalami penundaan landing di udara di Nusa Tenggara Timur sampai bandara kecil di Kalimantan. Baik ketika memakai maskapai murah, full service, ataupun pesawat carteran.
"Saya sih tidak takut, tapi sewaktu berputar-putar seperti itu, penumpang lain jadi resah. Misalnya ibu-ibu, apalagi yang hamil. Akhirnya kecemasan satu orang merambat," ungkapnya.
Asosisasi Maskapai Penerbangan Indonesia (INACA) tidak bersedia disalahkan atas fenomena terbang berputar-putar itu. Alasannya, mereka juga korban dari kondisi infrastruktur penerbangan Indonesia yang karut marut.
Sekretaris Jenderal INACA Teuku Burhanuddin mengatakan, fenomena pesawat berputar dengan istilah teknis"holding di udara", penyebab utamanya di Indonesia seringkali karena ada antrean buat mendarat. Baru kemudian disusul faktor cuaca.
"Itu jelas karena traffic yang padat, terutama penerbangan yang berkaitan dengan Soekarno-Hatta. Cuaca bisa saja, tapi jarang," ungkapnya kepada merdeka.com kemarin malam.
Buat maskapai, biang kerok semua ini adalah Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) atau biasa disebut AirNav. Manajemen pengaturan lalu lintas udara oleh badan yang baru beroperasi awal 2013 itu disebut kurang modern.
Burhanudin juga menyebut, kualitas SDM yang masih menerapkan pola pangaturan traffic pesawat gaya lama patut disalahkan. "Traffic control, alatnya harus up to date. Pola manajemen juga harus berubah, tidak bisa lagi pakai gaya klasik," cetusnya.
Otoritas pengelola bandara ikut menolak disalahkan. Corporate Secretary PT Angkasa Pura II Daryanto menilai, fenomena holding di udara sekarang mutlak urusan AirNav. "Itu terkait pengaturan pesawat, Angkasa Pura sudah tidak mengelolanya lagi, kan sudah ada lembaga yang baru".
Meski demikian, Daryanto mengingatkan penumpang agar tidak terlalu memprotes kebijakan holding di udara. Apalagi kalau alasannya adalah cuaca ekstrem, seperti badai atau kabut asap. "Kadang kan itu demi keselamatan penerbangan. Kalau seperti itu kan bagus, sehingga diatur holding oleh pihak pengelola traffic control," tuturnya.
Holding di udara diprediksi jadi pemandangan rutin dunia penerbangan Indonesia sampai beberapa tahun ke depan, imbas dari pertumbuhan industri. Badan Pusat Statistik (BPS) menyajikan data, bahwa pada Januari-Agustus 2013, penumpang pesawat hanya di Soekarno-Hatta saja sudah mencapai 44,9 juta orang.
Lonjakan terbesar berasal dari penumpang domestik, pada periode tersebut ada kenaikan 36 persen, mencapai 36,6 juta orang. Sedangkan Kementerian Perhubungan mencatat, pertumbuhan penumpang industri penerbangan 9 persen saban tahun. Beban besar memang dialami Soekarno-Hatta yang dijejali 1.215 penerbangan selama 24 jam nonstop. Antre di Cengkareng, otomatis mengganggu jadwal di bandara lain.
Burhanudin mengingatkan, agar tak cuma AirNav saja yang bertanggung jawab. Maskapai meminta Angkasa Pura maupun Kemenhub ikut serta mencari jalan keluar supaya potensi holding akibat antre turun, bisa berkurang.
"Holding di udara juga berkaitan dengan masalah di daratan. Runway harus diperbanyak, apron juga harus diperluas, itu masih bisa dilakukan untuk Soekarno-Hatta. Itu solusi jangka pendek. Untuk jangka panjang, tentu perlu membangun bandara baru, tapi kita realistis saja, biayanya kan mahal," urainya.
Hingga berita ini dilansir, Direktur Utama LPPNPI Ichwanul Idrus belum berhasil dihubungi lewat sambungan telepon. Pesan pendek yang dikirim merdeka.com juga tak dibalas, terkait permintaan konfirmasi adanya anggapan mereka kurang profesional mengelola lalu lintas pesawat sampai terjadi holding di udara.
Tak mau menyalahkan siapapun, Sesil sebagai konsumen menilai maskapai perlu proaktif. Paling tidak, ketika pesawat berputar-putar sebelum mendarat, wajib ada komunikasi intensif antara awak kabin dengan penumpang. Sehingga, kejadian seperti itu tidak memancing konflik.
"Terus memberi informasi mengenai status penerbangan itu akan sangat membantu penumpang. Karena pem beritahuan itu membuat orang lebih nyaman, dan akhirnya mereka merasa lebih secure," tandasnya.

0 comments: